Review 2014 Siapa di Atas Presiden?


Akhirnya film yang saya nantikan rilis juga, 2014 Siapa di Atas Presiden, sudah mulai tayang di bioskop pada 26 Februari 2015. Sebelum membaca ulasan atau nonton film ini, sebaiknya anda mengetahui kalau kisah yang disuguhkan adalah fiksi.

2014 berkisah tentang beberapa bulan sebelum pemilihan umum presiden yang mana salah satu calon presiden, bagas Notolegowo (Rey Sahetapy),  dijebak dan dituduh atas pembunuhan. Ia pun diancam dengan hukuman mati, namun keputusan persidangan belum final. Sang anak, Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar), berjuang untuk membuktikan ayahnya tidak bersalah.

Banyak menolak tawaran dari para pengacara yang dianggap sampah, Ricky memutuskan untuk mencari pengacara bersih yang pada akhirnya ia temukan. Namanya Krishna Dorojatun (Donny Damara), seorang pengacara yang telah pensiun dan memutuskan untuk menjadi dosen. Ia memiliki seorang anak perempuan bernama Laras (Maudy Ayunda).

Film ini diramaikan juga dengan para aktor dan aktris yang sudah tidak diragukan lagi kualitasnya antara lain Donna Harun, Akri "Patrio", Rudi Salam, Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, dan sang pemeran presiden bertugas kala itu Deddy Sutomo.

Akting kaku

Saya tidak meragukan kualitas akting dari setiap pemain, namun yang sara rasakan pada film ini adalah akting sebagian pemain terasa kaku. Selain itu, sebagai sosok baik, peran Rey Sahetapy di awal film malah terlihat malah sebagai antagonis (mungkin itu karakternya), walaupun ketika mendekati akhir citranya sebagai calon presiden disiguhkan semakin baik.

Pemeran yang saya rasa aktingnya paling kaku itu Maudy Ayunda. Nangisnya sih oke, tapi yah terlihat kurang menjiwai saja, khususnya ketika wajahnya disorot kamera dengan jarak yang sangat dekat. Sedangkan pemain yang saya nilai aktingnya paling bagus itu Atiqah Hasiholan sebagai polisi wanita.

Ide bagus, eksekusi kurang

Film produksi Mahaka Pictures dan Dapur Film ini menyuguhkan berbagai adegan yang tidak terduga. Bahkan saya sempat berfikir salah satu calon presiden, Faham (Rudi Salam), merupakan sosok jahat yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya sebagai presiden. Namun pada akhir film terungkap bahwa sebenarnya ia merupakan boneka politik yang dikendalikan oleh sosok yang memiliki kekuatan lebih tinggi.

Sayangnya, gambar pada film ini saya rasa nampak terlalu sederhana untuk kualitas film bioskop. Kurang wah.  Beberapa bagian terlihat lebih mirip dengan suguhan film televisi (FTV) di saluran televisi swasta.

Awal salah paham

Film yang disutradarai oleh Rahabi Mandra dan Hanung Bramantyo ini menyuguhkan drama dan kisah berbau politik yang sangat kental. Perebutan kekuasaan, korupsi, manipulasi opini masyarakat dan drama politik yang sangat kental.

Menyaksikan film ini membuat saya sempat berfikir kondisi politik di negara ini nampaknya sudah tidak dapat ditolong lagi. Apalagi ada adegan yang menyebutkan bahwa semua politisi itu kotor, kira-kira seperti ini "Tahu cara membedakan politisi yang bersih dan kotor? Jika ia politisi, maka ia kotor, karena semua politisi itu jahat."

Dikarenakan ini adlah film fiksi, maka cerita yang disuguhkan pada 2014 ini bukanlah yang sebenarnya. Namun dikarenakan kualitas sutradara yang sudah sangat kawakan, maka seakan-akan apa yang disuguhkan ya kejadian sebenarnya. Real banget.

Jadi jangan sampai anda membenci negara anda sendiri atau politisi di dalamnya, karena semuanya sudah dirancang sedemikian rupa. Rating film ini juga D (dewasa) sehingga diperlukan pemikiran yang dewasa untuk bisa mencerna ceritanya.

Aksi lumayan

Film yang diproduseri oleh Celerina Judisari dan Hanung Bramantyo ini dihiasi dengan adegan perkelahian dan kejar-kejaran yang menegagkan. Hanya saja porsinya tidak terlalu banyak. Bisa dibilang cukuplah sebagai bumbu dalam film drama. Adegannya juga keren, gerakan sangat akrobatik, khususnya Atiqah Hasihollan yang nampak meyakinkan (entahlah adegannya asli atau stunt).

Sayangnya, saya melihat ada beberapa bagian yang terkesan berlebihan dan tidak masuk akal. Tau-tau saat terjungkal yang membuat saya mengernyitkan dahi ketika menyaksikan adegan itu sambil berkata "Hah?"

***

Setelah menyaksikan film ini, saya memetik kesimpulan bahwa kemungkinan saja hal yang dikisahkan pada film ini memang benar terjadi di negara kita, Indonesia. Ada sosok yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari presiden sehingga mampu menjadikan presiden sebagai boneka politiknya.

Secara keseluruhan saya puas dengan film ini. Memiliki alur cerita penuh drama, gelap, dengan bumbu aksi yang seru. Hanya saja, seperti yang saya utarakan sebelumnya bahwa gambar film ini terlihat seperti FTV.

Bagian yang paling saya sukain dari film ini adalah begitu mudahnya pihak tertentu membangun opini publik melalui media dan jejaring sosial untuk mencapai tujuan pribadinya. Hal ini yang saya rasakan pada masyarakat kita saat ini. Walaupun fiksi, ada adegan yang saya rasa diadaptasi dari realita.

Rekomendasi atau tidak, saya tetap merasa film ini layak untuk ditonton.

Skor 7/10

Komentar